Jumat, 03 Agustus 2012

Start!

ehem..bingung
sebenernya saya bingung mau nulis apa.
Dari dulu saya suka baca blog orang. rasanya lucu kita bisa tau orang cuma dari baca blognya. kita bisa tau orang itu suka apa, umurnya berapa, bahkan kadang ada orang yang nulis dia tiap hari ngapain aja di blognya. Jadi dipikir-pikir kenapa saya ga coba nulis juga. Mungkin sih sudah telat ya. Blog ini juga udah lama ada. Tapi daripada ngga sama sekali kan ya.

Kalo dari kemarin-kemarin isi blog ini cuma tugas kuliah saya  itupun cuma satu dua, mulai sekarang saya berniat untuk lebih sering berbuat sesuatu untuk blog ini. haha

Mudah-mudahan niat saya itu bukan hanya niat belaka yaa. hehe
sekian dulu postingan kali ini. Besok besok saya pasti cerita lebih banyak

Senin, 09 Januari 2012

Dampak Urbanisasi Terhadap Ruang Perkotaan

Urbanisasi,sebagai proses yang dialami oleh suatu kawasan untuk lebih “mengkota” terus dialami oleh daerah-daerah di Indonesia dan hal ini terus mengalami peningkatan. Perkembangan urbanisasi di Indonesia dapat diamati dari 3 (tiga) aspek : pertama, jumlah penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan (kini mencapai 120 juta dari total 230 juta jiwa); kedua, sebaran penduduk yang tidak merata (hampir 70% di Pulau Jawa dengan 125 juta jiwa dan di Pulau Sumatera dengan 45 juta jiwa); serta, ketiga, laju migrasi penduduk desa ke kota yang tinggi, dimana kota-kota metropolitan, seperti : Jakarta (termasuk Bekasi, Bogor dan Tangerang), Surabaya, Bandung, Medan, Palembang, dan Makassar, merupakan magnet utamanya. Selain itu terjadi peningkatan jumlah kota di Indonesia periode tahun 1970-2010. Pada awal tahun 1970, hanya terdapat 45 kota otonom saja, namun pada tahun 2010 telah berkembang menjadi 98 kota otonom. Artinya dalam 40 tahun terakhir, jumlah kota telah meningkat 2 (dua) kali lipat. Khususnya dalam 10 tahun terakhir (2000 – 2010), telah lahir 25 kota otonom baru sebagai hasil pemekaran wilayah dengan maksud untuk meningkatkan pelayanan publik.

Pada masa yang akan datang, diperkirakan fenomena urbanisasi ini akan terus meningkat, baik karena pertumbuhan penduduk kota itu sendiri, migrasi penduduk desa ke kota, maupun karena pemekaran wilayah. Hal ini tentu berdampak pada perubahan ruang perkotaan itu sendiri baik secara fisik maupun sosial yang berlangsung cepat dan tidak mudah untuk dikelola. Sementara itu secara bersamaan tumbuhnya suatu kawasan menjadi lebih modern berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan yang berdampak pada menurunnya kualitas kehidupan di perkotaan. Kemacetan yang semakin akut, banjir tiap tahun yang bahkan semakin parah, penyediaan air tidak layak minum, polusi air dan udara, serta peningkatan kawasan kumuh perkotaan menjadi hal yang lumrah terjadi di kota-kota di Indonesia. Dua sisi pembangunan perkotaan yang saling bertolak belakang ini disebut oleh para ahli sebagai “the urban paradox”.

Dengan kondisi seperti yang telah disebutkan di atas, yang akan menjadi korban pertama adalah penduduk miskin perkotaan. Penduduk miskin menjadi kelompok sosial yang sangat rentan terhadap berbagai bencana perkotaan, antara lain : banjir, kebakaran dan penyebaran wabah penyakit. Selain itu semakin sulitnya akses yang didapat masyarakat miskin tersebut untuk pelayanan dasar perkotaan seperti fasilitas permukiman, penduduk miskin tersebut mendiami hunian kumuh yang sangat padat (slums dan squatters) di ruang-ruang sempit perkotaan yang sama sekali tidak layak huni. Dan hal ini semakin memperjelas bentuk-bentuk kesenjangan yang terjadi di kawasan perkotaan.

Sementara itu proses urbanisasi ini terus-menerus terjadi tanpa bisa dicegah karena di sisi lain kota merupakan katalis pertumbuhan ekonomi yang utama. Kota dipandang dapat meningkatkan taraf hidup sehingga urbanisasi menjadi pilihan rasional manusia untuk mencapai kesejahteraan. Pada taraf ini kita lupa bahwa kualitas hidup tidak melulu dapat dicapai dengan peningkatan ekonomi. Akan tetapi juga kualitas lingkungan dan sosio-kultur yang baik.

Sebenarnya pentingnya mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan sudah lama disadari, hal ini ditandai dengan munculnya konsep kota berkelanjutan (Sustainable city) yang memadukan ketiga aspek tersebut untuk mencapai keseimbangan sehingga tercipta kenyamanan untuk hidup di kawasan perkotaan bagi penghuninya. Dalam kota berkelanjutan, yang menjadi indikator utama bukan hanya kualitas lingkungan. Ada 3 indikator utama pada konsep kota berkelanjutan yaitu faktor dampak pembangunan kota terhadap lingkungan (khususnya dalam penggunaan sumberdaya dan tingkat polusi yang dihasilkan), kualitas hidup penghuni kota, dan bagaimana kota tersebut mempersiapkan kotanya untuk masa depan yang berkelanjutan.

Diharapkan, untuk selanjutnya peningkatan urbanisasi juga diimbangi dengan terealisasinya konsep kota berkelanjutan ini agar tercipta kota yang nyaman dihuni tidak hanya pada saat ini akan tetapi juga untuk generasi mendatang.





Daftar pustaka :
Ernawi, Imam. S, Morfologi – Transformasi dalam Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan, Paparan yang disampaikan dalam Seminar dengan tema “Morfologi – Transformasi dalam Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan”, diselenggarakan oleh Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro (UNDIP),Semarang, 20 November 2010.
 
 
 
 
 
 

Sabtu, 29 Oktober 2011

Peran Masyarakat dalam Pembangunan Pariwisata Pantai Berkelanjutan


Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan ± 18.110 pulau yang dimilikinya dengan garis pantai sepanjang 108.000 km tentunya memiliki modal untuk mengembangkan potensi pariwisata pantai yang dimilikinya. Modal tersebut harus dimanfaatkan secara optimal melalui penyelenggaraan kepariwisataan yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Meskipun demikian, sektor pariwisata khususnya pariwisata pantai sangat rentan terhadap faktor-faktor lingkungan alam, keamanan, dan aspek global lainnya. Contoh kerusakan alam adalah rusaknya terumbu karang hampir di sepanjang pantai Indonesia, padahal terumbu karang dan segala kehidupan yang ada didalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki dan tidak ternilai harganya. Manfaat terumbu karang yang langsung adalah habitat bagi sumberdaya ikan, batu karang, pariwisata dan juga melindungi pantai wisata.

Saat ini permasalahan yang sering terjadi pada pengelolaan pariwisata pantai selain penurunan kualitas lingkungan dan keberadaan sarana dan prasarana yang kurang memadai adalah kurangnya integrasi antara masyarakat sekitar dengan kawasan pariwisata itu sendiri. Hal ini disebabkan karena manfaat yang dihasilkan dari keberadaan kawasan pariwisata tersebut belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat dan menyebabkan kurangnya rasa memiliki terhadap kawasan pariwisata tersebut. Padahal dari keberadaan masyarakat yang sering dibaikan ini dapat dikembangkan potensi kebudayaan yang dimiliki masyarakat sekitar seperti upacara adat, dsb.

Seperti yang  disampaikan Edwin Permana, Happy Ratna Santosa, dan Bambang Soemardiono dalam makalahnya “Integrasi Pengembangan Wisata Pantai dan Permukiman Nelayan di Pesisir Barat Kabupaten Bengkulu Selatan dalam Rangka Konservasi Alam” yang disampaikan dalam Seminar Nasinal Perumahan dan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010 Jurusan Arsitektur  FTSP ITS yang menyebutkan bahwa keikutsertaan masyarakat sekitar dapat juga ikut menjaga kelestarian lingkungan setempat.  

Dalam makalah tersebut dilakukan analisa penataan kawasan di pesisir barat Kabupaten Bengkulu Selatan agar terjadi integrasi antara kawasan wisata pantai dan permukiman nelayan dengan tujuan konservasi alam. Analisa yang digunakan antara lain terdiri dari :
·         Analisis Kondisi Fisik Kawasan Wisata Pantai
Melakukan analisis terhadap kondisi fisik kawasan seperti kondisi topografi, jenis vegetasi, kerentanan terhadap bencana, dll.
·         Analisis Karakteristik Kepariwisataan
Analisis dilakukan menggunakan kuisioner terhadap tingkat pengenalan masyarakat terhadap obyek wisata.
·         Analisis Kesesuaian Lahan
Peta yang diperlukan adalah peta tata guna lahan, peta topografi, peta ketinggian, peta geologi dan tanah, peta vegetasi serta peta DAS, kemudian dilakukan teknik overlay untuk mengetahui nilai kemampuan lahan masing-masing.
·         Analisis Permukiman Nelayan dan Potensi Masyarakat Nelayan
Menganalisa pola perkembangan permukiman, aspek sosial masyarakat seperti kebudayaan setempat, dll.
·         Analisis Triangulasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Pariwisata

·         Analisis Penataan Kawasan Dengan Pendekatan Teori Urban Design Terkait Dengan Sistem Linkage
Analisa dilakukan dengan melihat hubungan Penataan elemen-elemen pembentuk kawasan dengan sistem linkage seperti adanya papan pentunjuk arah, penanda kawasan berupa node, landmark, schupture serta pembentukan pola sirkulasi/koridor dengan membedakan dimensi jalan serta material.

Dari semua analisa yang dilakukan, diambil kesimpulan bahwa Potensi khas yang dapat dikembangkan pada wilayah studi yaitu karakteristik alam yang masih alami. Karakteristik aktifitas dan budaya masih terjaga dalam kehidupan masyarakat seperti kegiatan selamatan pantai, atraksi kesenian serta aktifitas pengolahan hasil ikan dengan pembuatan perahunya ini merupakan potensi yang dapat dikembangkan. Selain itu Berdasarkan hasil analisa kesesuaian lahan maka pada wilayah studi dapat dibagi atas 3 (tiga) zona yaitu : Zona Konservasi, Zona Kegiatan Wisata dan Zona Perluasan Permukiman. Sedangkan berdasarkan pemanfaatan dapat dibagi dalam 4 zona yaitu : zona wisata pantai, wisata budaya dan permukiman Nelayan, zona permukiman dan persawahan serta daerah yang dapat dikonservasi. Orientasi permukiman nelayan diupayakan menghadap ke arah laut. Penyediaan fasilitas kepariwisataan didasarkan pada pembagian zona yang memiliki kedekatan fungsi serta menciptakan keterhubungan antarkawasan wisata guna memudahkan aksesbilitas pengunjung.

Saat ini pengembangan kawasan pariwisata harus mengakomodir prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan seperti yang tertuang dalam Pacific Ministers Conference on Tourism and Environment di Maldivest tahun 1997 yang meliputi kesejahteraan lokal, penciptaan lapangan kerja, konservasi sumber daya alam, pemeliharaan dan peningkatan kualitas hidup  antar generasi dalam distribusi kesejahteraan. Gunn, 1994 mengemukakan bahwa suatu kawasan wisata yang baik dan berhasil secara optimal didasarkan pada empat aspek yaitu :1) Mempertahankan kelestarian lingkungannya, 2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut, 3) Menjamin kepuasan pengunjung, 4) Meningkatkan keterpaduan dan kesatuan pembangunan masyarakatdi sekitar kawasan dan zona pengembangan.

Konsep penataan ruang dalam makalah ” Integrasi Pengembangan Wisata Pantai dan Permukiman Nelayan di Pesisir Barat Kabupaten Bengkulu Selatan dalam Rangka Konservasi Alam” ini sudah cukup baik untuk dicoba diterapkan pada kawasan pesisir barat Kabupaten Bengkulu Selatan. Konsep ini mampu mengintegrasikan keberadaan masyarakat dan konservasi alam yang diharapkan selain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat juga dapat menjaga kelestarian lingkungan. Konsep ini juga mampu menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat merupakan sebuah potensi dan tidak seharusnya diabaikan. Selain itu diharapkan konsep ini dapat menjadi tambahan referensi bagi pemerintah Kabupaten Bengkulu Selatan pada khususnya dan pemerintah daerah lain pada umumnya dalam mengembangkan konsep pariwisata pantai yang berkelanjutan.







Senin, 21 Maret 2011

Perugia, Sebuah Kota Puncak Bukit di Italia

Perugia merupakan ibukota wilayah Umbria di Italia Tengah. Memiliki jumlah penduduk 160.000 jiwa di area seluas 450 km2. Kepadatan penduduk kota ini mencapai 300 jiwa per km2. Perugia merupakan contoh klasik kota puncak bukit abad pertengahan yang terletak di Italia. Titik tertinggi Kota Perugia berdiri di atas dua puncak bukit yaitu puncak bukit Matahari dan bukit Landonis. Perugia merupakan pusat pendidikan dan kesehatan besar. Kota ini juga merupakan tuan rumah pada beberapa festival internasional.
Pada abad pertengahan, Perugia membentuk fase ekspansi besar dan kota yang ditandai dengan dibangunnya dinding pembatas untuk pertahanan karena dulunya kota ini adalah Papal State dan pernah memberontak terhadap tirani Vatikan dua ratus tahun silam. Perkembangan kota yang mulai menyebar di sepanjang lereng bukit, mengakuisisi konvormasi berbentuk bintang.
Perugia merupakan pusat seni terkenal dari Italia. Pelukis terkenal Pietro Vannuci, yang dijuluki Perugino, adalah penduduk asli Citta della Pieve yang letaknya dekat dengan Perugia. Selain itu, Raphael sanzio, ahli lukis dan arsitektur terpelajar Italia juga pernah tinggal di kota ini. Hal ini menyebabkan Perugia tumbuh menjadi kota yang menawarkan banyak bangunan bersejarah yang indah dan elegan, beberapa diantaranya adalah :
§  Gereja dan biara San Pietro, berdiri pada abad ke 16 akhir.

§  Basilika San Domenico yang mulai dibangun pada tahun 1394 dan selesai pada tahun 1458. Gereja ini dirancang oleh Giovanni Pisano dan dekorasi interior yang didesain ulang oleh Carlo Maderno.
§  Gereja Sant Angelo, ini adalah contoh seni Palaeo-Kristen dengan rencana pusat mengingat Santo Stefano Rotondo di Roma. Gereja ini memiliki 16 kolom antik.
§  Gereja Sant Ercolano dibangun pada abad 14 awal. Bangunannya menyerupai sebuah menara polygonal dan pernah memiliki 2 lantai yang kemudian satu lantainya dirobohkan ketika Paolina Rocca dibangun.
§  Palazzo dei Priori yang dibangun selama periode komunal, terletak di Corso Vannucci.

Ciri Fisik dan Non Fisik Kota Perugia
1.    Ciri Fisik
Salah satu ciri fisik Perugia yang merupakan kota puncak bukit adalah pola dan bentuk kotanya. Berbeda dengan kota-kota di daerah dataran yang dapat tumbuh dan berkembang dengan berbagai bentuk dan pola, bentuk dan pola yang berkembang di Perugia menyesuaikan dengan bentuk lansekap bukit terutama bagian puncak dan sekelilingnya. Jaringan jalan melingkar mengikuti kontur dan beberapa bangunan utama ditempatkan di bagian puncak.

Selain topografinya yang merupakan kota puncak bukit, Perugia yang merupakan salah satu kota mediaeval menyebabkan masih kentalnya suasana kota jaman abad pertengahan di Kota Perugia ini. Masih banyak terdapat bangunan-bangunan dengan dinding kuno yang masih dipertahankan sampai sekarang dan hal ini tentunya memberikan ciri tersendiri bagi wujud Kota Perugia.
2.    Ciri Non Fisik
Sebagai kota pelajar dengan dua universitas besar yang ada, membuat Perugia menjadi “rumah” bagi ribuan siswa baik asing maupun dari Italia sendiri.
Selain itu Kota Perugia yang terkenal dengan produksi coklatnya menawarkan pameran coklat internasional tiap tahunnya di bulan oktober yaitu Eurochocolate.
  Aspek Dominan yang Mempengaruhi Bentuk Kota Perugia
Sama seperti kota-koata lainnya,dalam perkembangannya, pola dan bentuk Kota Perugia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kondisi topografi, sosio kultur masyarakat, kepentingan pertahanan, kehidupan politik, dan kehidupan religius masyarakat. Akan tetapi faktor paling dominan yang mempengaruhi pola dan  bentuk Kota Perugia adalah faktor topografi. Letak Kota Perugia yang berada di puncak bukit menyebabkan Kota Perugia tumbuh dan berkembang menyesuaikan dengan kondisi topografi daerah puncak bukit tersebut. Kondisi topografi puncak bukit tentunya sangat berbeda dengan kondisi dataran, hal ini menyebabkan perbedaan bentuk dan pola perkembangan Kota Perugia dengan kota-kota lain yang berlokasi di dataran yang cenderung dapat tumbuh dan berkembang dengan berbagai pola dan bentuk.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul faktor pendorong lain yang mempengaruhi pola dan bentuk kota, salah satu contohnya adalah faktor sosio kultur masyarakat setempat. Kota Perugia yang merupakan tempat tinggal beberapa pelukis terkenal dan berbakat pada abad pertengahan, membuat Kota Perugia tumbuh sebagai kota mediaeval yang penuh dengan bangunan-bangunan indah bersejarah di tiap sisinya. Dan suasana abad pertengahan ini masih terus dipertahankan sampai saat ini.
 

Sabtu, 01 Januari 2011

Untuk Indonesia


Pernahkah anda mendengar ada orang yang mempunyai kartu pemilih atau KTP lebih dari satu? Atau bahkan saat ini anda sendiri sedang mengalaminya?
Sebagian dari kita mungkin merasa heran ketika mengetahui ada orang yang mempunyai KTP atau kartu pemilih lebih dari satu bahkan ada orang-orang yang langsung menuduh bahwa hal ini disebabkan oleh kelalaian petugas kelurahan. Padahal mungkin saja hal ini disebabkan oleh kita sendiri. Tidak bisa dipungkiri saat ini banyak dari kita yang menyepelekan hal-hal “kecil” seperti melapor kepada pengurus RW ketika ada salah satu anggota keluarga kita yang meninggal ataupun menikah sehingga anggota keluarga tersebut harus pindah ke tempat lain. Mungkin kita berpikir bahwa hal tersebut tidak akan terlalu berpengaruh besar terhadap kita ataupun terhadap data yang ada di kelurahan. Tetapi coba anda bayangkan jika semua orang yang pindah dari tempat asalnya ataupun keluarga yang salah satu anggota keluarganya meninggal mempunyai pikiran yang sama seperti yang kita pikirkan. Tentunya hal ini akan sangat berpengaruh terhadap data kependudukan yang ada dan menyebabkan data tersebut tidak lagi valid. Padahal data kependudukan ini akan diperlukan ketika akan menghitung infrastruktur yang dibutuhkan dalam satu kawasan seperti jaringan listrik, jaringan air bersih, jaringan pembuangan sampah, dan sebagainya. Mungkin kebutuhan infrastruktur ini masih bias dihitung menggunakan data yang tidak valid ini tetapi tentunya hasilnya akan berbeda apabila data kependudukan tersebut benar-benar valid.
Akibat lain dari ketidak acuhan kita terhadap pendataan penduduk tersebut adalah seperti yang sudah saya sebutkan di atas, memiliki KTP ataupun Katu Pemilih lebih dari satu. Saya jadi teringat pengalaman nenek saya yang ketika akan Pemilu ternyata beliau mendapatkan dua Kartu Pemilih. Satu kartu beliau dapatkan dari kelurahan dimana beliau tinggal saat ini dan satu lagi dari kelurahan dimana beliau tinggal dulu. Padahal nenek saya sudah pindah dari kelurahan tersebut selama belasan tahun. Pada awalnya nenek saya tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Tetapi hal ini menjadi berbeda ketika beberapa hari kemudian beliau menonton berita di televisi yang menyebutkan ada seorang ibu yang terancam dipenjara akibat memiliki dua kartu pemilih. Isi berita tersebut langsung membuat nenek saya segera melapor kepada pengurus RW setempat tentang Kartu Pemilih beliau yang lebih dari satu. Dan hari-hari berikutnya saya masih saja mendengar berita-berita tentang orang-orang yang memiliki kartu pemilih lebih dari satu. Hal ini membuktikan bahwa masih banyak penduduk Indonesia yang kurang peduli terhadap pentingnya kevalidan data kependudukan yang dimiliki suatu Negara. Rendahnya tingkat kesadaran ini tentu perlu diubah agar tidak terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan. Tentunya perubahan ini tidak bisa sekaligus terjadi tetapi paling tidak kita bias memulainya dari diri dan keluarga kita sendiri terlebih dahulu. Hal yang bisa kita lakukan adalah sesibuk apapun kita, cobalah untuk meluangkan sedikit waktu untuk sekedar melapor apabila terjadi perubahan di keluarga kita kepada pengurus RW dimana kita tinggal. Perubahan tersebut bisa disebabkan oleh kejadian Lahir, Mati, Pindah, dan Datang.

Jumat, 12 Januari 2007

Penerapan Sistem DAU di Indonesia


Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu transfer dana Pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dengam demikian, DAU merupakan bagian dari mekanisme redistribusi yang dalam tujuan alokasinya harus menerapkan prinsip keadilan. Selain itu, karena DAU merupakan komponen terbesar pembentuk anggaran daerah, maka seharusnya pemerintah daerah dapat mengetahui secara transparan mengenai cara perhitugan jumlah dana yang akan dialokasikan, metode disribusi, dan mekanisme administrasi untuk menjalin komunikasi yang baik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Dalam UU no.25/1999 disebutkan bahwa DAU ini memiliki tujuan pemerataan. Tujuan pemerataan yang dimaksudkan disini adalah memeratakan ketersediaan sumber dana antar pemerintah daerah. Dengan kata lain, alokasi DAU seharusnya berupaya menciptakan kondisi dimana setiap pemerintah daerah memiliki dasar pijakan yang sama tanpa perlu menciptakan variasi antar daerah yang besar dalam beban perpajakan. Padahal, biaya pembangunan infrastruktur bervariasi antar daerah. Suatu daerah mungkin memerlukan sejumlah anggaran yang lebih besar untuk membangun infrastruktur yang berkualitas sama dengan daerah lain karena volume pelayanannya lebih besar atau karena biaya transportasinya yang lebih besar. Selain itu sumber daya keuangan pemerintah daerah pun bervariasi antar daerah. Jadi bagaimana solusi agar tujuan pemerataan seperti yang telah disebutkan di UU no.25/1999 bisa dicapai?
Sebenarnya, berapa besar dana yang akan ditransfer pemerintah pusat dan diterima oleh pemerintah daerah ditentukan oleh  dua faktor utama yang menentukan besarnya transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Faktor pertama adalah faktor beban fungsi yang merupakan sisi kebutuhan daerah. Faktor kedua adalah faktor kemampuan finansial daerah yang adalah kemampuan dasar dalam membiayai fungsi. Dari dua faktor tersebut, dapat disimpulkan bahwa prinsip dasar dalam alokasi DAU adalah prinsip kecukupan. Prinsip kecukupan disini maksudnya sistem DAU harus memberikan dana yang cukup bagi daerah. Arti kata cukup disini adalah sesuai dengan beban fungsi dan kemampuan finansial daerah tersebut. Selain itu, seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa beban financial yag ditanggung oleh pemerintah daerah tidak statis bahkan cenderung naik. Dan prinsip kecukupan yang menjadi dasar dalam alokasi DAU berarti transfer dana yang dilakukan oleh pemerintah pusat seharusnya dapat menampung kebutuhan pemerintah daerah terkait kenaikan beban financial tersebut.
Akan tetapi, saat ini yang sering terjadi dalam penerapan system DAU di Indonesia adalah jumlah uang yang diberikan relatif terlalu kecil dibandingkan dengan fungsi yang dibebankan, sehingga pemerintah daerah mengalami kekurangan pendanaan yang sifatnya kronis.
Permasalahan yang sering terjadi pada penerapan sistem DAU di Indonesia adalah penyalahgunaan dominasi peran yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam penentuan arah lokasi penggunaan DAU ini. Untuk menghindari hal-hal seperti itu dibutuhkan peran DPRD, Pers, dan masyarakat sebagai sosial kontrol dalam penentuan alokasi prioritas anggaran yang akan dibiayai oleh DAU.